Waktu itu aku masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada
janji dengan Agus, sahabatku di sekolah. Rencananya dia mau mengajakku
jalan-jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a”? sekedar menghilangkan kepenatan setelah
seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan. Sejam lebih aku
menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal numpang di rumah
paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang
di desa). Jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a”? dari rumah Agus melewati tempat
tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan
seperti biasa. Aku mulai gelisah, karena biasanya Agus selalu tepat janji.
Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke
rumah Agus, memastikan dia sudah berangkat atau belum (waktu itu HP belum musim
bro, paling juga pager yang sudah ada, tapi itupun kami tidak punya).
“Sialan.. telkom ini, barang rongsokan di pasang di
sini!,” gerutuku karena telpon koin yang kumasukkan keluar terus dan keluar
terus. Setelah uring-uringan sebentar, akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Agus.
Keputusan ini sebenarnya agak konyol, karena itu berarti aku berbalik arah dan
menjauh dari Mall A?a,?EsXA?a,?a”? tujuan kami, belum lagi kemungkinan
bersimpang jalan dengan Agus. Tapi, kegelisahanku mengalahkan pertimbangan itu.
Akhirnya, setelah titip pesan pada penjual di warung kalau-kalau Agus datang,
aku langsung menyetop angkot dan menuju ke rumah Agus.
Sesampai di rumah Agus, kulihat suasananya sepi.
Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Agus (Papa, Mama dan
adik-adik Agus, serta kadang pembantunya) pada ngobrol di teras rumah atau main
badminton di gang depan rumah. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, kulihat
pembantu di rumah Agus keluar dari pintu samping.
“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah?” tanyaku.
Aku terbilang sering main ke rumah Agus, begitu juga sebaliknya Agus sering
main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku sudah kenal baik dengan semua
penghuni rumah Agus, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro
kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan
wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Agus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah
kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya
minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba
terbuka. Ternyata Tante Ani, mama Agus yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh
masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas
Didik nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk
dulu,” kata Tante Ani lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi
tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk
sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin
minum sama bibi dulu,” kata Tante Ani lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante
Ani tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara
Tante Ani masih berdiri di depan pintu.
“Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang
enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan
perasaan setengah sungkan.
“Agus ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku
basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih
tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti,
langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari
ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin,”
jawab Tante Ani. “Emangnya Agus nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit
terheran-heran. Tidak biasanya Tante Ani menyebutku dengan “kamu”. Biasanya dia
menyebutku dengan “nak Didik”.
“Kok bengong!” Tanya Tante Ani membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante Ani
meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang
membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin
nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu..
bau,” kata Tante Ani sambil tersenyum. Setelah itu Tante Ani dan pembantunya
masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja
untuk.
Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di
ruang tamu, sampai akhirnya Tante Ani nampak keluar dari ruang tengah. Dia
memakai T-shirt warna hitam dipadu dengan Rok ketat di bawah lutut. Harus
kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an namun badannya masih bagus. Kulitnya putih
bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih
jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran
ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante Ani
tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat
itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini
aku sempat melihat Tante Ani tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau
dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak
sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante Ani lagi. Meskipun masih
merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata Tante Ani sama sekali tidak
menunjukkan sedang marah.
“Kata Agus, kamu mau pertandingan sepakbola di
sekolah ya?” Tanya Tante Ani.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota.
Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap
penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya
latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan
pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi
kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih kesempatan untuk nggak ikut
pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante. Soalnya kalau badan udah
pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen.”
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata
Tante Ani.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante Ani tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang
kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante.
Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante Ani nampak
sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak
ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi
isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku
hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.
“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,”
katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping
sofa, Tante Ani memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu
persis seperti apa perasaanku saat itu.
Setelah beberapa menit, Tante Ani menghentikan
pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat padaku
agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante Ani setelah itu.
Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu keluar rumah melalui pintu
samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Ani yang keluar lagi dari ruang
tengah.
“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah
habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan. “Ayo
sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar lebih enak,” kali itu aku
hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang disuruh Tante Ani.
Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Ani duduk di belakangku sambil
mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante Ani
sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante
Ani kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku,
apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,”
katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut
saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante Ani membuka kaosku.
Setelah itu Tante Ani kembali memijitku. Sekarang
tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku.
Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya kini, tapi sepasang
benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan punggungku. Meski
seumur-umur aku belum pernah menyentuh payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda
empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang payudara Tante Ani.
Beberapa lama aku berada dalam situasi antara
merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada
benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui
yang menelusup itu adalah tangan Tante Ani.
“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud
kataku itu. Tante Ani seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke
sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku. Sementara itu
aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa
melihat dan merasakan Tante Ani mengelus penisku dari luar CD-ku.
Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang
baru pertama kali itu aku rasakan. Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang
terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul keluar dan Tante Ani sudah
menggenggamnya sambil sesekali membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering
memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi
mainan Tante Ani.
Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan
yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang
hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut
Tante Ani, sementara tangannya naik turun mengocok batang penisku. Aku hanya
bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan. Beberapa menit kemudian aku
merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang. Aku merasakan Tante Ani melepaskan
penisku dari mulutnya, tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.
“Sssshhhh.. creettt… creett… ”
Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar
biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mani
ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,”
Tante Ani berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante
Ani, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini
juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante
Ani lagi.
Setelah itu aku lihat Tante Ani melepas T-Shirtnya,
kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya. Aku terus terbelalak melihat
pemandangan seperti itu.
Dan Tante Ani seperti tidak peduli kemudian
meluruskan posisi ku, kemudian dia mengangkang duduk di atasku. Selanjutnya aku
merasakan penisku digenggam lagi, kali ini di arahkan ke selangkangan Tante Ani.
“Sleppp…. Aaaaahhhhh… ” suara penisku menembus
vagina Tante Ani diiringi desahan panjangnya. Kemudian Tante Ani bergerak turun
naik dengan cepat sambil mendesah-desah. Mulutnya terkadang menciumi dada,
leher dan bibirku.
Ada beberapa menit Tante Ani bergerak naik turun,
sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai menjerit-jerit kecil
dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak lama
kemudian…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh…….. ,” Tante Ani melenguh
panjang, bersamaan dengan teriakanku yang kembali merasakan puncak yang kedua
kali. Setelah itu Tante Ani terkulai, merebahkan kepalanya di dadaku sambil
memeluk pundakku.
“Terima kasih Dik…,” bisiknya lirih diteruskan
kecupan ke bibirku.
Sejak kejadian itu, aku mengalami syok. Rasa takut
dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit membayangkan seandainya Agus
mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai terjadi pada diriku, aku mulai
sering menyendiri dan melamun.
Namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan
lain yang menghinggapi aku. Aku sering terbayang-bayang Tante Ani dia telanjang
bulat di depanku,
terutama waktu malam hari, sehingga aku tiap malam
susah tidur. Selain seperti ada dorongan keinginan untuk mengulangi lagi apa
yang telah Tante Ani lakukan padaku.
Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh
paman dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Agus. Tentu saja aku tidak
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Situasi seperti itu berlangsung sampai
seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai drop akibat tiap malam susah
tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk sekolah. Akibat dari itu pula,
akhirnya aku memilih mundur dari tim sepakbola sekolahku, karena kondisiku
tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti latihan-latihan berat.
Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku
berjalan sendirian di trotoar sepulang sekolah. Aku menuju halte yang jaraknya
sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di depan sekolahku juga ada
halte untuk bus kota, namun aku memilih halte yang lebih sepi agar tidak perlu
menunggu bus bareng teman-teman sekolahku.
Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku dikejutkan
mobil yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku. Lebih terkejut lagi
saat tahu itu mobil itu mobil papanya Agus. Setelah memperhatikan isi dalam
mobil, jantungku berdesir. Tante Ani yang mengendari mobil itu, dan sendirian.
“Dik, cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang
lain,” panggil Tante Ani sambil membuka pintu depan sebelah kiri. Sementara aku
hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante Ani lebih
keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan
Tante Ani, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.”
kata Tante Ani sambil langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku
bisa sedikit melihat Tante Ani beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Agus,” Tanya Tante Ani
tiba-tiba.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian
saja. Tante nggak sekalian jemput Agus?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Agus nggak pernah dijemput,” jawab
Tante Ani.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.
Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante Ani
mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di sebuah komplek
pertokoan Tante Ani melambatkan mobilnya sambil melihat-lihat mungkin mencari
tempat parkir yang kosong. Setelah memarkirkan mobilnya, yang sepertinya
mencari tempat yang agak jauh dari pusat pertokoan, Tante Ani mengajak aku
turun.
Setelah turun, Tante Ani langsung menyetop taksi
yang kebetulan sedang melintas. Terlihat dia bercakap-cakap dengan sopir taksi
sebentar, kemudian langsung memanggilku supaya ikut naik taksi. Setelah masuk
taksi, Tante Ani memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong supaya diam,
kemudian dia menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan matanya,
entah kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran
sebuah hotel di pinggiran kota.
“Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada
kamar nganggur yang habis dipakai tamu kantor tante. Nanti tante nyusul,” kata
Tante Ani memberikan kunci kamar hotel sambil setengah mendorongku agar keluar.
Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung
mencari petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke resepsionis. Dan
memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor seperti yang tertera di
kunci. Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, namun hanya duduk-duduk saja di
situ.
Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di
pintu kamar, ternyata Tante Ani. Dia langsung masuk dan duduk di pinggir
ranjang.
“Agus bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?!”
tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada agak tinggi.
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama
temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Agus,” Tante Ani menyemprotku
yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku
bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante Ani terputus dan
terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,”
kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau
ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil
sesenggukan. “Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi
begitu,” kata Tante Ani, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi
kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”
Akhirnya Tante Ani cerita panjang lebar tentang
rumah tangganya. Tentang suaminya yang sibuk mengejar karir, sehingga hampir
tiap hari pulang malam, dan jarang libur. Tentang kehidupan seksualnya sebagai
akibat dari kesibukan suaminya, serta beratnya menahan hasrat biologisnya
akibat dari semua itu.
“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa,
tante nggak sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu
kemarin. Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah
tahu masalah tante. Sekarang kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin
taksinya,” kata Tante Ani lirih sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan
dompet.
“Nggak.. nggak usah tante.. ” aku mencegah. “Saya
belum mau pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam kesedihan.” Entah
pengaruh apa yang bisa membuatku seketika bisa bersikap gagah seperti itu. Aku
hampiri Tante Ani, aku elus-elus kepalanya. Hilang sudah perasaan sungkanku
padanya. Tante Ani kemudian memeluk pinggangku dan membenamkan kepalanya dalam
pelukanku.
Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante
Ani. Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya dari airmata yang masih
mengalir. Pelahan kucium keningnya. Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba
bibir kami sudah saling bertemu. Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan
atau takut, aku cukup lancar juga mengikuti naluri kelelakianku.
Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama
makin liar. Aku mulai mengusap punggung Tante Ani yang masih memakai baju
lengkap, dan kadang turun untuk meremas pantatnya. Tante Ani pun melakukan hal
yang sama padaku.
Tante Ani sepertinya kurang puas bercumbu dengan
pakaian lengkap. Tangannya mulai membuka kancing baju seragam SMU-ku, kemudian
dilepasnya berikut kaos dalam ku. Kemudian dia melepaskan pelukanku dan
berdiri. Pelan-pelan dia membuka pakain luarnya, sampai hanya memakai CD dan
BH. Meskipun aku sudah melihat Tante Ani telanjang, tapi pemandangan yang
sekarang ada di depanku jauh membuat nafsuku bergejolak, meskipun masih
tertutup CD dan BH. Aku langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah dinding,
sampai kepala Tante Ani membentur dinding, meski tidak begitu keras.
“Ah, pelan-pelan doonnng,” kata Tante Ani manja
diiringi desahannya desahannya.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante
Ani, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante
Ani tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana
luar dan dalamku. Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot
sempurna. Aku bantu upaya Tante Ani itu dengan mengangkat kakiku bergantian,
sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.
Setelah itu Tante Ani membantuku membuka pengait
BH-nya yang ada di belakang. Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka
BH-nya. Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua buah dada Tante Ani yang cukup
besar itu, sedang Tante Ani mulai mengelus dan kadang mengocok penisku yang
sudah sangat tegang.
Kemudian tante setengah menjambak Tante Ani
mendorong kepalaku di arahkan ke buah dadanya yang sebelah kiri. Kini puting
susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap dan jilati mengikuti naluriku.
“Aaaaahh….. oooouhghhh… ” desahan Tante Ani makin
keras sambil tangannya tak berhenti mempermainkan penisku.
Beberapa kali aku isap puting susu Tante Ani
bergantian, mengikuti sebelah mana yang dia maui. Setelah puas buah dadanya aku
mainkan, Tante Ani mendorong tubuhku pelan ke belakang. Kemudian dia berputar,
berjalan mundur sambil menarikku ke arah ranjang. Sampai di pinggir ranjang,
Tante Ani sengaja menjatuhkan dirinya sehingga sekarang dia telentang dengan
aku menindih di atasnya, sementara kakinya dan kakiku masih menginjak lantai.
Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian aku bantu sehinggap
Tante Ani kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.
Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi
pemandangan di depanku. Tante Ani yang telentang dengan nafas memburu dan mata
agak saya menatapku. Gundukan di selangkangannya yang ditumbuhi bulu tidak
begitu lebat nampak benar menantang, seperti menyembul didukung oleh kakinya
yang masih menjuntai ke lantai. Bibir vaginanya nampak mengkilap terkena cairan
dari dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa menilai dan membanding-bandingkan buah
dada, mana yang kencang, bagus dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja
yang bisa aku perhatikan).
“Sini sayaangg.. ,” panggil Tante Ani yang melihat
aku berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya. Aku menghampirinya, menindih dan
mencoba memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Tapi, Tante Ani menahanku.
Nampak dia menggeleng sambil memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong
kebawah. Terus didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang
vaginanya. Setelah itu Tante Ani berusaha agar mulutku menempel ke vaginanya.
Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan sangat asing bagiku,
aku agak melawan.
Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia
bangun. Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya
tubuhku. Sempat aku melihat bibirnya tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di
atas mulutku.
“Bleepp… ” aku agak gelagapan saat vagina Tante Ani
ditempel dan ditekankan di mulutku. Tante Ani memberi isyarat agar aku tidak
melawan, kemudian pelan-pelan vaginanya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil
mulutnya mendesis-desis tidak karuan. Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan
cairan dari vagina Tante Ani, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya.
Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku sehingga masuk ke lubang
vagina Tante Ani.
“Oooohhh… sssshhh… pinter kamu sayang… oh… ”
gerakan Tante Ani makin cepat sambil meracau. Tiba-tiba, dia memutar badannya.
Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan yang luar biasa setelah penisku
masuk ke mulut Tante Ani. Aku merasakan kepala penisku dikulum dan dijilatinya,
sambil tangannya mengocok batang penisku. Sementara itu, vaginanya masih
menempel dimulutku, meskipun gesekannya sudah mulai berkurang. Sambil menikmati
aku mengelus kedua pantat Tante Ani yang persis berada di depan mataku.
Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante
Ani mulai berputar dan bergeser. Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas
mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku yang tegak.
“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku
menancap sempurna di dalam vagina Tante Ani diikuti desahan panjangnya, yang
malah lebih mirip dengan lolongan.
Tante Ani bergerak naik turun sambil mulutnya
meracau tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah Tante Ani, kali
ini aku tidak pasif.
Aku meremas kedua buah dada Tante Ani yang semakin
menambah tidak karuan racauannya. Rupanya, aksi Tante Ani itu tidak lama,
karena kulihat tubuhnya mulai mengejang. Setengah menyentak dia luruskan
kakinya dan menjatuhkan badannya ke badanku.
“Ooooooooohhh…. Aaaaaaaaahhh….. ” Tante Ani ambruk,
terkulai lemas setelah mencapai puncak.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil
terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas
vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk
penisku dari posisi atas. Tante Ani terus membelai rambut dan wajahku, tanpa
berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian aku mempercepat sodokanku, karena
terasa ada bendungan yang mau pecah.
“Tanteeeeee……. Oooooohhh……. ” gantian aku yang
melenguk panjang sambil membenamkan penisku dalam-dalam. Tante Ani menarik
tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat aku mencapai puncak.
Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan, aku
dan Tante Ani terus ngobrol sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan
ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante Ani banyak memberi tahu tentang seks,
terutama bagian-bagian sensitif wanita serta bagaimana meng-eksplor
bagian-bagian sensitif itu.
Setelah jam 4 sore, Tante Ani mengajak pulang. Aku
sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali lagi. Tapi Tante Ani
berkeras menolak.
“Tante janji, kamu masih terus bisa menikmati tubuh
tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap seperti biasa, terutama pada
Agus. Dan kamu harus kembali ke tim sepakbola. Janji?”
“He-em,” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat
janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.
Sebelum aku dan Tante Ani memakai pakaian
masing-masing, aku sempatkan mencium bibir Tante Ani dan tak lupa bibir
bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante Ani memberiku ongkos taksi dan
menyuruhku pulang duluan.
Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku
sudah normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku,
yang untungnya masih diterima. Dari sepakbola itulah yang kemudian memuluskan
langkahku mencari kerja kelak. Dan Tante Ani menepati janjinya. Dia benar-benar
telah menjadi pasangan kencanku, dan guru sex-ku sekaligus. Paling sedikit
seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah tempat, dari hotel satu ke
hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja kami melakukannya
memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak diketahui orang lain,
terutama keluarga Tante Ani.












Tidak ada komentar:
Posting Komentar